Jembatan Gantung
Rasanya aku berdiri diatas jembatan gantung yang terus menerus bergoyang. Jembatan yang sewaktu-waktu mampu menjatuhkanmu. Pada limit penerkaan prekdisi akal budi, aku melepaskan segala kemungkinan, menyerahkan segalanya untuk terjadi. Perasaan dan segala pengalaman ketubuhan yang sungguh menajubkan untuk ditelaah dan dipelajari cukup untuk menjadikan diri ini bergeser cukup oportunis dalam menelan kata-kata manis.
Rasa sakit adalah momentum belajar kedalam. Mengkosolidasi setiap sisi diri untuk bisa berkompromi dan semakin dalam introspeksi. Mengingatkan bahwa konflik menjadi titik lompatan. Untuk tau mana yang salah dan mana yang mungkin tetap harus dipertahankan.
Berbagai ketakutan, dan segala kemungkinan yang cukup masuk akal untuk ditakuti. Sebuah keadaan dimana ruang tak semudah itu diproduksi, bukan karena jarak. Akan tetapi karena adanya konsensi dengan diri sendiri yang tak menemui kordinat yang tepat. Pada rentang yang tak jelas ini, bersiaplah untuk memahami setiap detil resiko, menentukan pilihan dan berjalan sesuai dengan keputusan. Menikmati dan terus saja menikmati. Toh kecewa dan rasa sakit tak mustahil untuk dinimati. Detak jantungmu yang mengencang, permukaan kulit yang bergetar, dan sensasi-sensasi sakit hati lainnya yang pada satu titik tertentu bisa dinikmati.
Tetaplah memanusiakan manusia, pada saatnya kelak konsistensi ini pasti terobati. Aku percaya tubuh ini memancarkan gelombang yang berkomunikasi dengan kosmos untuk saling terhubung menciptakan momentum yang membahagiakan, momentum yang mengobati. Karena hal yang perlu diingat, bahwa perasaan itu tak bisa dipaksakan. Keinginan sekalipun tak bisa mendorong perasaan itu lahir dan bertumbuh. Jadi tetaplah, melayang dan menang menanggapi setiap sesuatu yang terjadi. Tertawa, terlukalah, nikmati rasa suka dan duka yang silih berganti mengisi hari-hari. Hal yang perlu dingat ialah jangan biarkan sakit itu tumbuh menjadi dendam dan membuatmu mengecam. Cukup sadari dan pelajari, dan biarkan memmbuatmu tumbuh terus menerus!